Pemikiran Tentang NU
Kyai, NU DAN POLITIK Kyai
OLeh : Bayu Pramutoko, SE.MM
Jagad kyai adalah
sebuah fenomena, yang mana dalam penterjemahan fenomena itu, perlu
pemahaman lebih dalam tentang ruang lingkup dan cakupan, Kegusaran
masyarakat melihat tingkah polah figur kyai, mendorong interprestasi
yang bermacam-macam. Ada kalanya buruk ada kalanya baik, menurut cara
pandang kajian atau basic intelektual mereka. Selain itu keterpengaruhan
status sosial, hubungan keluarga, waktu dan tempat ketika mereka
menyaksikan realitas sosial dalam segmen ke-kyaian tidak sama satu sama
lain. Sebuah istilah “ Kyai “ yang arti luasnya adalah seorang Ulama,
pemimpin umat Islam dan seoranag ahli agama Islam, diharapkan mampu
menjawab persoalan agama Islam dengan benar sesuai dengan ajaran Nabi
Muhammad SAW. Karena istilah tersebut yang sudah begitu kental
dikalangan Warga Nahdliyin, menjadikan latah pendapat tiap individu
hanya dengan memandang simbolitas Visual dan performance khusus yang
digunakan oleh seorang kyai, dengan pakaian panjang, bersarung,
berkopiah, mengenakan serban dan memutar tasbih. Simbolitas visual
itulah yang memunculkan banyak fenomena Kyai dalam interaksinya dengan
masyarakat.
Banyak kalangan memandang bahwa persoalan
sepele itu tidak perlu mendapat perhatian serius, karena tidak ada yang
mengatur atau melarang orang mengenakan simbolitas visual yang menjadi
tahapan tingkat penokohan seorang figur Kyai. Menjadi menarik lagi
ketika interaksi mereka berbenturan dengan sturuktur sosial cultural
masyarakat yang saat ini terkontaminasi dengan kepentingan yang semakin
meminggirkan khasanah nurani yang menjadi pijakan ketika seseorang
menjalani ritual agama Islam dengan benar. Kecenderungan Islam Menjadi
sebuah simbol belaka menjadi kenyataan sampai hari ini. Fungsi
legitimasi seorang pemimpin umat atau ulama adalah eforia yang dipandang
sebelah mata. Ulama atau Kyai sudah bukan lagi dipandang sebagai ahli
agama secara utuh, namun sudah membias menjadi pemimpin social yang
membingkai agama sebagai suatu komoditas egonya.
Keberlangsungan rutinitas yang lestari
dari sebuah kultur pondok pesantren NU, adalah sebuah keniscayaan yang
harus diakui, fungsi utama seorang kyai adalah mengajarkan bait demi
bait kitab kuning yang memuat berbagai persoalan agama Islam, sakralitas
proses transfer keilmuan di Pondok Pesantren memicu pengultusan seorang
kyai dari para santrinya, ajaran yang diberikan merupakan doktrin suci
yang harus dipatuhi. Proses dari internalisasi pondok pesantren
memberikan inspirasi bagi masyarakat dengan menyerap kedalaman ilmu
agama seorang kyai. Proses penyerapan tersebut menghasilkan persepsi
yang stereotyping, dimana seseorang menganggap bahwa dari keturunan
seorang Kyai akan melahirkan keturunan yang sama pula. Walaupun pendapat
itu tidak sepenuhnya benar, karena benih yang dilahirkan tidak
sepenuhnya menghasilkan bentuk dan sifat yang sama, namun akan berbeda
sesuai dengan pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Kekhusyukan, kesalihan seorang Kyai,
menjadi kekuatan tersendiri yang memikat dalam setiap pergaulan di luar
komunitas pondok pesantren, heterogenitas masyarakat memunculkan
persepsi beragam keberadaan seorang kyai. Sementara itu Nahdlatul Ulama
sebagai sebuah organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, pada proses
perkembangannya, klaim bahwa NU sebagai basis masa pondok pesantren
tidak sepenuhnya benar, karena dikalangan warga Nahdliyin sendiri yang
mengenyam pendidikan pondok pesantren tidak merata di setiap structural
organisasi, bisa dikatakan bahwa ketika NU berkembang menjadi organisasi
yang berlabel kumpulan para kyai menarik simpati sebagian masyarakat
yang ingin lebih dekat mengenal tokoh-tokoh tersebut, karismatik yang
dipancarkan dari para ulama senior (sepuh) memikat banyak orang untuk
ngangsu kaweruh agomo lebih dalam. Jejak perjalanan hidup, perjuangan
dan sepak terjang beliau-beliau yang di kisahkan oleh para santrinya
secara turun temurun sampai sekarang tertanam dalam ingatan mereka
diluar kepala, yang mengkonsumsi bukan lagi dari kalangan santri pondok
pesantren ansich saja, namun hampir semua masyarakat juga merasakan
sugesti yang kuat keberadaan seorang kyai. Penghormatan yang
bertubi-tubi dari para pemujanya hingga kultus individu tidak bisa
dipungkiri lagi, anak seorang kyai dengan serta merta akan menikmati
kebesaran orang tua mereka dulu, dengan berbekal sebutan “ Gus &
Ning “ (kyai Muda/putra-putri kyai) akan menghipnotis kalangan
masyarakat yang sangat awam dengan dunia kultur pondok pesantren.
Kebesaran dan kemampuan supranatural yang
dimiliki para kyai juga menjadi obsesi sebagian masyarakat. Situasi
sejak lahir hingga menginjak dewasa dalam lingkungan pondok pesantren,
telah mempola karakter, tingkah laku serta adat kebiasaan para
putra-putri kyai yang pada akhirnya terkondisi untuk menjadi manusia
yang harus dianut secara keturunan dan mengkasta mereka sendiri atau
memposisikan mereka menjadi suri tauladan masyarakat tanpa reserve. Hal
ini menjadi beban terberat bagi mereka dengan perkembangan pengaruh
lingkungan disekitarnya, karena eksistensi mereka sebagai manusia normal
masih disandang. Simbolitas kyai dan darah biru kyai NU yang menghiasi
perjalanan panjang negeri ini, dan hadir dalam setiap episode peristiwa
social masyarakat , telah berkembang menjadi atribut karir kehidupan
para kyai, maka kalau sudah menjadi istilah karier muaranya adalah
bagaimana mereka bisa mempertahankan karir ke kyai-an mereka dalam
masyarakat, ada mitos Jawa yang mengatakan “ Wong Milik Nunggang Lali “ ( orang yang menginginkan sesuatu akan lupa keberadaan dirinya atau lepas kendali ).
Padahal pada posisi mereka para kyai tingkah polahnya diperhatikan
secara detil oleh masyarakat dan penganutnya. Fenomena kehidupan para
kyai menjadi persepsi yang tidak bisa dijelaskan secara real dan konkrit
pada umatnya . Kemudian menimbulkan berjuta-juta pertanyaan tanpa ada
jawaban, karena yang mengetahuinyapun tidak berani mengatakan. Ketidak
beranian mereka cukup mendasar karena doktrin awal dari kelas social
yang terkondisikan tersebut mengecilkan eksistensi seseorang yang sudah
mempunyai sebutan santri, yang secara tegas dengan doktrin yang tidak
tertulis bahwa seluruh keturunan dan kerabatnya harus dihormati dan
dijunjung tinggi derajat dan martabatnya. Tetapi perubahan mengawal
mereka dalam tiap langkah kehiduapan beliau-beliau, walaupun kata
perubahan itu sendiri tidak berubah.
Keberadaan NU sebagai organisasi agama
berbasis masa terbesar berkembang menjadi organisasi milik semua orang,
klaim milik pondok pesantren telah bergeser menjadi milik umat, sehingga
posisi pondok pesantren menjadi diatas NU secara mandiri, system yang
berubah telah membuka wahana pemikiran para pengurus dan anggota Lajnah
NU beserta Banomnya, hal ini dibuktikan bahwa kekuatan NU tidak merata
di seluruh Nusantara, kekuatan dominasi di propinsi Jawa Timur dan lemah
di wilayah lain telah dibuktikan dengan proses politik dari pemilu
legislative, hingga Pilihan Presiden.
Jujur bisa dikatakan bahwa sebenarnya
yang terjadi dalam Tubuh Nahdlatul Ulama adalah perasan dilematis yang
tidak ada ujungnya. Melihat perkembangan dalam semua sector yang ada
dalam Tubuh Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, adalah karena
tidak dimilikinya sebuah kerangka yang jelas dalam bertindak, atau apa
yang diprioritaskan. Pernyataan saya ini mungkin akan di tolak oleh
beberapa komponen NU, namun membaca situasi sekarang, kondisi dilematis
merupakan factor yang menyebabkan terombang-ambingnya sikap warga NU
yang belakangan merupakan sasaran setiap gerakan yang menuju kearah
kekuasaan dimanapun wilayahnya.
Semenjak Pelaksanaan pemilu menggunakan
pilihan Langsung One man One Vote (satu orang satu suara ) saat Pemilu
legislative hingga Pilihan Presiden 2 tahun yang lalu, posisi NU
menjadi nilai tawar yang mahal bagi para Politisi, karena diharapkan
akan mampu mendongkrak suara terbesar, namun kenyataannya tidak
demikian, justru Politisi yang diberangkatkan dari NU, malah tidak bisa
memanfaatkan secara maksimal. Akibatnya yang menang malah justru bukan
dari kalangan NU sendiri.
Perpecahan kader-kader elit NU yang
akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak kalangan, semakin merusak citra
basis kekuatan NU di akar rumput, kondisi ini memicu berbagai persepsi
yang tidak menguntungkan. Ditambah PKB yang merupakan Corong aspirasi
Politik warga NU sekarang menjadi papan nama belaka. Walaupun Menang
dalam pengadilan namun efek yang ditimbulkan justru komponen terpenting
PKB yaitu kalangan Kyai menjadi terbelah dua, yang pro Gus Dur dan Pro
Koirul Anam.
Maka sebenarnya yang memiliki dampak
kerugian terbesar adalah ketidak percayaan para pemilih loyal yang
posisinya berada dilapisan bawah dengan kekuatan kyai NU yang dianutnya.
Kondisi ini juga menciptakan spekulasi diantara warga NU sendiri yang
enggan secara terang-terangan menyatakan sikapnya. Apalagi data pemilih
yang sebenarnya tidak sesuai dengan Klaim para Pengurus NU yang katanya
memiliki basis sampai kebawah, kenyataannya suara yang diperoleh tidak
sebesar harapan. Ini artinya terjadi pergeseran keloyalitasan warga NU
terhadap figure yang ditampilkan. Selain itu keengganan warga NU yang
diharapkan sebagai modal dasar perolehan suara besar ternyata juga
tidak terbukti.
Konflik yang terjadi di Kultural NU,
Internal PKB dan Internal NU yang tidak terkendali, menyebabkan dampak
psikologis besar pada warga NU yang sudah sekian lama mengharapkan
keharmonisan di antara para Elit NU maupun PKB. Lahirnya PKNU sebagai
partai alternative Kalangan Kyai berpengaruh, menambah porak porandanya
basis kekuatan Jamiyah NU. Walaupun anggapan beberapa kalangan di Kyai
Pondok Pesantren NU bahwa langkah yang diambil merupakan penyegaran,
namun hal itu merupakan preseden buruk bagi perkembangan NU dimasa yang
akan datang.
Sejak munculnya indikasi ketidak akuran
antara Elit NU dan PKB beberapa tahun yang lalu serta sentiment politik
yang berkembang hingga memicu pertikaian antar Kader PKB di Jawa Timur.
Banyak kader-kader muda NU yang nota bene adalah anak-anak warga potensi
dari NU yang beralih haluan dalam berpolitik, banyak yang sudah menjadi
pengurus PKS, PDI,PD ataupun lainya. Arah pemikiran mereka yang tidak
terakomodir oleh Elit NU maupun pengurus, menyebabkan mereka dari
kelompok ini lebih memilih bermain diluar basis wilayah NU,
potret-potret prilaku politik warga NU di struktural maupun kultural
telah meyakinkan mereka, bahwa akan sulit untuk membuka ritme baru dan
masuk dalam konstalasi politik internal yang marak dengan gesekan antar
kader, yang kadang diluar etika. Potensi-potensi yang diharapkan mampu
memperkuat sumberdaya manusia warga NU, pada akhirnya harus berpindah ke
wilayah lain yang berada diluar basis NU, tetapi secara ideologi mereka
tetaplah keturunan NU, namun mereka lebih eksis diluar basis NU.
Sehingga mereka lebih mendapatkan pengakuan diri mereka dari luar
wilayah politik warga NU, jumlah mereka tidak sedikit, dan ini berada
pada kalangan warga NU yang lebih melek pendidikan, para orang tua
membiarkan dengan bebas aspirasi politik anak-anak mereka dengan tidak
menekankan harus masuk ke wilayah NU ansihc dan meninggalkan keyakinan
orang tuanya beralih kearah netralitas wilayah berpikir mereka. Namun
seringkali kondisi real seperti ini hanya disikapi pasif oleh para Elit
structural dan kultural NU. Kelengahan yang berlarut-larut itu menjadi
akibat kelemahan internal saat ini. Kebesaran klaim yang selama ini
dipakai akan berakibat fatal sepuluh dua puluh tahun kedepan atau malah
prediksi saya akan cepat.terbukti dengan program Kartu anggota NU yang
tidak sukses dengan jumlah pendaftar yang jauh lebih sedikit dari
perkiraan. Secara amaliah mereka melaksanakan ajaran-ajaran NU seperti
Tahlil,sholawatan,rutinan lain yang kental dengan kebiasaan warga NU.Namun
ketika mereka dilegitimasi sebagai anggota NU mereka dengan halus
menolak. Kejadian ini bukan persoalan kesadaran berorganisasi, tetapi
karena mereka sangat sadar dengan cara inilah mereka mengambil sikap
demikian. Namun tetap saja hal ini tidak menjadikan surut para elit NU
dalam mengklain bahwa warga NU tetap pada posisi pendukung setia.
Kekuatan basis kyai yang seharusnya mampu
membetengi dan mengawal keberadaan organisasi,lembaga dan Banom di
semua tingkatan ternyata tidak sepenuhnya terlaksana, banyak putra-putri
kyai dari kalangan pondok pesantren maupun Elit NU structural dan
Kultural yang tidak pernah menjadi pengurus NU, Lembaga, maupun Banom.
Namun ketika mereka mempunyai kepentingan, mereka memanfaatkan
basis-basis organisasi ini sebagai kendaraan. Logikanya adalah proses
kaderisasi yang seharusnya diawali dari bawah justru tidak dipergunakan
dengan baik. Mereka para putra-putri keturunan kyai tersebut begitu
muncul langsung terposisi sebagai Pembina atau ketua yang seharusnya
dimiliki melalui proses kaderisasi yang teratur, sesuai dengan masa
karier dan perjuangannya. Gaya ini menyebabkan banyak kader yang sudah
bertahun-tahun berjuang dan mengabdi merasa dibohongi dan dilecehkan.
Pemahaman kuno yang sekarang masih dipakai tidak lagi laku dikalangan
kader muda NU yang banyak dari kalangan di luar basis pondok pesantren.
Dominasi kekuatan pondok pesantren dibeberapa daerah hanya sebatas
pemanfaatan kepentingan politik sementara orang, sehingga ketidak siapan
kader-kader NU yang seharusnya memiliki pengaruh kuat, malah justru
tidak berdaya dengan memposisikan diri sebagai pengikut atau orang
kedua, ini terjadi hampir didaerah yang memiliki basis warga NU
terbesar, seperti di Jawa Timur. Kecenderungan dalam persaingan di
kalangan internal NU sendiri menjadi tidak terelakan. Elit struktural
dan kultural NU tidak menyatu dalam satu barisan, namun berhadapan satu
sama lain dengan komunitas mereka sendiri. Dinamika ini malah semakin
hari semakin marak dikalangan warga NU, Potret jamiyah yang selama ini
identik dengan ketawadukan terhadap kyai menjadi komoditas politik yang
sarat dengan kepentingan.
Fenomena ini terjadi kembali pada
prakondisi Pilihan Gubernur di Jawa Timur, yang mengusung para kandidat
Gubernur dan Wakil Gubernur dari kalangan Nahdliyin. PKB yang melekat
dengan NU mengusung Ahmadi sebagai calon Gubernur sendiri yang wakilnya
sampai saat ini belum jelas, sementara itu KH Ali Maschan Musa Ketua
PWNU yang baru terpilih lagi di KONFERWIL NU di Probolinggo, menjadi
Calon Wakil Gubernur bersama Soenaryo Calon Gubernur dari Golkar. Calon
Gubernur Sorkarwo yang akrab dipanggil Pak de Karwo yang digadang-gadang
akan bergandengan dengan KH Ali Maschan Musa ternyata malah
menggandeng Saifuloh Yusuf ( Gus Ipul ) yang juga adalah ketua Umum PP
GP ANSOR dan mantan Menteri Percepatan Pengembangan daerah Tertinggal
sebagai calon Wakil Gubernur. Yang hebohnya lagi Gus Ipul panggilan
akrabnya di usung oleh Partai Amanat Nasional yang menjadi partai
komunitas warga Muhamadiyah. Bisa dibilang situasi jamiyah dari kalangan
sruktural dan kultural NU dibuat pusing tujuh keliling. Kader-kader NU
sampai jajaran ke Banom dan Lembaga terjadi dilema kebermihakan. Hal ini
terjadi karena hampir semua kader di semua jajaran baik NU,Banom dan
Lembaga, terposisi menjabat dibeberapa lembaga dan Banom, artinya satu
orang kader bisa menjadi pengurus di beberapa lembaga juga di PKB.
Kondisi semacam ini lumrah di NU yang merupakan organisasi Nirlaba.
NU yang memiliki basis besar dari akar
rumput dan didukung oleh keberadaan para kyai, menjadi primadona dan
sasaran utama para politisi yang ingin berkuasa, tokoh-tokoh NU yang
memiliki reputasi bagus, menjadi perhatian utama untuk bisa meraup suara
dalam proses pemilihan langsung one man one vote, sikap warga nahdliyin
yang terkonstruksi sebagai santri dimana sikapnya harus tunduk pada
dawuh kyai merupakan modal besar kalangan elit sturuktural maupun
kultural NU memainkan ritme dalam moment proses pemilihan umum kepala
daerah. Posisi sentral NU di tangan Kyai menjadi bias manakala
organisasi ini harus bersikap tegas dalam aturan organisasi. NU yang
didirikan oleh para Kyai dan berbasis pondok pesantren semakin kuat
cengkeramanya terhadap organisasi NU yang memiliki anggota yang tidak
semua dari kalangan santri. Situasi sulit terjadi manakala sikap
independent NU itu memiliki dua pilihan yang sulit, sehingga
terkotak-kotak menjadi kelompok kyai sungguhan dan sesungguhnya, (karena mereka sebenarnya adalah seorang kyai dalam terminologi NU,)
namun karena terkontaminasi oleh kepentingan politik maka existensi
mereka sebagai seorang kyai menjadi saling berhadapan antara kyai
pendukung si A dan Kyai pendukung si B. Fatal, karena dengan posisi elit
NU seperti ini,keutuhan jamiyah terporak poranda dengan aksi dukung
mendukung.
Apakah ini akan tuntas dengan hanya kata ”
islah ”. Menurut saya kok akan sulit, karena aksi dukung mendukung itu
mahal taruhannya, islah dalam konteks pergaulan mungkin saja bisa, namun
akan sulit kalau akan diajak duduk bersama satu meja. Contoh, ketika
K.H. Hasyim Muzadi mencalonkan diri menjadi Cawapres bersama Megawati,
Gus Dur sangat keberatan, hingga pada saat K.H. Hasyim Muzadi
mencalonkan kembali menjadi ketua PB NU Gus Dur juga berkeinginan
kembali lagi ke jajaran struktural NU sebagai Syuriah. Ada indikasi akan
menghadang pencalonan K.H. Hasyim Muzadi. Dan ini terus berlanjut
sampai pada resufle Saifulloh Yusuf dari kabinet Susilo Bambang Yudoyono
sebagai buntut perpecahan di tubuh PKB. Dan kongres luar biasa di
semarang. Rentetan perpecahan itu sampai hari ini ternyata juga belum
tuntas. Dilema warga NU untuk berpihak pada siapa juga tidak menemukan
jawaban, sehingga hari ini yang berbicara bukan lagi pada tataran spirit
lagi namun pada subtansi kompensasi, apa yang mereka bisa berikan
itulah yang menjadi jawaban dilema tiada ujung tersebut. Mereka tidak
salah karena itu realitas yang terjadi. Walohualam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar